Orang-orang yang Setia*

AKU menggeliat mengeluarkan suara manja, dan seperti biasa, ia tak menoleh. Aku pun bangkit. Kubiarkan selimut yang semula menempel di dada akhirnya terjatuh. Dingin memang. Tapi itu justru memberiku cukup alasan untuk bersegera merangkak mendekatinya dan menekankan payudaraku ke punggungnya. “Sudah terbangun cukup lama?” tanyaku. Ia masih saja tak menghiraukanku dan tampak serius menatap layar laptopnya yang penuh sesak oleh kata-kata.

Aku dan lelaki ini pertama kali bertemu tujuh bulan yang lalu. Saat itu kami sedang sama-sama menghadiri malam penganugerahan para pemenang sebuah sayembara penulisan puisi tingkat nasional di luar kota. Kebetulan, ia lah yang memenangkan sayembara itu. Aku saat itu menghampirinya, sebagai seorang penggemar. Sebelum malam itu aku telah banyak membaca puisi-puisinya yang dimuat di beberapa koran nasional dan jujur saja aku sangat menyukainya. Dan aku senang, karena ia merespon ajakan pertemananku itu dengan hangat. Dan aku lebih senang lagi, karena rupanya lelaki itu tertarik kepadaku—bisa kupastikan itu dari tatapan matanya yang sesekali terarah ke tempat-tempat tertentu. Sebelum akhirnya maju, untuk menerima piala dan berkata-kata di podium, ia meminta nomorku yang bisa ia hubungi. Kuberikan.

Beberapa jam setelah kami berpisah malam itu, ia mengirimiku SMS. Dua hari kemudian, ia meneleponku. Lima hari setelahnya, ia mengatakan ingin sekali bertemu denganku. Maka kubilang, “Ke sini lah. Mungkin kita bisa sekalian berdiskusi soal puisi dan kamu bisa memberitahuku bagaimana caranya memenangkan sebuah sayembara penulisan puisi.” Rupanya, ia menanggapi perkataanku itu dengan serius. Pada hari kedelapan belas sejak malam penganugerahan itu kami bertemu di etalase Sastra Gramedia Botani Square. Ada rasa tersengat, tentu saja, melihat sosoknya itu berdiri (lagi) di hadapanku. Singkat kata kami pun berbicara tentang berbagai hal sambil berkeliling melihat-lihat dan mengomentari buku-buku yang ada di sana. Malamnya, kami berada di sebuah kamar. Ia sempat mengabulkan permintaanku dengan mengajakku berdebat soal baik-buruknya puisi esai lalu mengajariku bagaimana membuat sebuah puisi khusus untuk memenangkan sayembara sebelum akhirnya ia menciumiku di bibir, di pipi, di leher, di bahu.. “Aku menyukaimu dan ingin kembali bertemu denganmu,” katanya besok harinya, sesaat sebelum ia memasuki bis. Aku tersenyum. Dua bulan setelah saat itu ia datang lagi, dan mengajakku berdebat lagi dan mengajariku lagi menulis puisi khusus untuk sayembara lantas menciumiku lagi di bibir, di pipi, di leher, di bahu.. Kalau kuhitung-hitung, dengan yang tadi malam, sudah tiga belas kali kami melakukannya.

Di salah satu malam yang kami lalui bersama, aku pernah menanyakan padanya bagaimana sesungguhnya perasaannya padaku. Ia bilang, ia menyukaiku, tapi tak lebih dari itu. Tak bisa. “Kenapa?” tanyaku. “Karena aku sudah memiliki seseorang,” jawabnya. “Dan aku berniat menikahinya, meski tidak dalam waktu dekat,” lanjutnya. Aku pun mengerti. Ia sempat cemas dan bertanya apakah kejujurannya itu mengusikku. Kujawab dengan menciuminya. Pada malam selanjutnya kami bersama ia memberiku sebuket mawar merah dan beberapa buku. “Ini untuk mengurangi rasa bersalahku,” katanya. Kukatakan bahwa itu tak perlu, sebab aku sama sekali tak pernah menganggap ia bersalah. “Tapi aku merasa bersalah,” desaknya. Jadi kuterima saja. Namun rupanya itu tak menghentikannya untuk menciumiku lagi di bibir, di pipi, di leher, di bahu.. “Kamu tahu, kurasa aku mulai mencintaimu,” ucapnya suatu hari. “Apakah itu berbahaya?” tanyaku. “Sangat,” jawabnya. Namun lagi-lagi rupanya itu tak menghentikannya untuk menciumiku lagi di bibir, di pipi, di leher, di bahu..

 
SEBULAN lamanya sejak saat itu kami tak berkomunikasi. Telepon maupun SMS. Kukira saat itu ia akhirnya memutuskan untuk berhenti dan mulai sepenuhnya mempersiapkan diri untuk membangun masa depannya yang sesungguhnya dengan seseorang itu. Akan tetapi, suatu pagi, ia membangunkanku, dan mengatakan betapa ia merindukanku dan tak bisa berhenti memikirkan malam-malam yang kami lalui bersama itu. “Aku juga,” kataku, yang kemudian kusesali. Beberapa hari setelahnya kami kemudian bertemu. Kali itu aku yang berkunjung ke kota tempat ia tinggal.

Di kamarnya itu, ia begitu antusias menunjukkan padaku buku-buku tentang puisi yang ia miliki. Ia pun berteori, memintaku merespon teori-teorinya dan akhirnya kami berdua terjebak dalam suatu diskusi panas yang nyaris saja membuat kami saling meneriaki satu sama lain. Aku ingat, untuk mengakhiri perdebatan itu aku sampai harus mengalah dengan menyetujui tuduhannya bahwa kredo Afrizal itu berbahaya bagi para penulis muda, bahwa kematangan teknik harus lebih dulu dimiliki untuk menyelami kredo itu. “Jangan sampai seseorang meloncat justru karena ia tak bisa melangkah biasa. Itu namanya melarikan diri,” katanya. Aku mengangguk-angguk saja meski sesungguhnya begitu dongkol dan dalam hati terus bergumam: seorang pelukis surealis toh tidak perlu lebih dulu piawai membuat lukisan-lukisan realis.

Ketika ketegangan sudah benar-benar menghilang, ia akhirnya tersenyum, meraih tanganku, dan berkata, “Aku merindukanmu beberapa hari ini. Sangat.” Beberapa detik setelahnya ia membawaku bersandar di dinding kamarnya lantas menciumiku di bibir, di pipi, di leher, di bahu.. Dini harinya ketika akhirnya aku terbangun kutemukan ia tengah duduk memunggungiku, dan sepertinya sedang menatap layar laptopnya lekat-lekat. “Kamu sedang menulis puisi?” tanyaku, dan ia sama sekali tak menggubrisnya.

 
SETELAH beberapa kali menginap di kamar kostnya, barulah aku mengerti bahwa ia memang seperti itu ketika menulis puisi: sama sekali tak bisa diganggu. Beberapa kali usai menulis puisi itu ia meminta maaf, dan selalu langsung kujawab dengan “tak apa”. Di satu waktu ia menjelaskan padaku bahwa puisi yang baru saja dibuatnya itu akan dikirimkannya ke sebuah sayembara dan ia merasa luar biasa puas karena puisi itu seperti apa yang diinginkannya. “Kurasa ini karena aku habis tidur denganmu,” katanya, sebelum menciumku tiga kali. Kukatakan padanya—dengan maksud menggodanya—bahwa sebelumnya ia telah beberapa kali tidur denganku namun sesuatu seperti yang dikatakannya itu tak pernah terjadi. “Itu karena saat itu aku memang tak berniat menulis puisi,” sanggahnya cepat. “Waktu kita kan singkat. Sayang sekali kalau harus kuhabiskan dengan menulis puisi,” sambungnya. Dan kalau kupikir-pikir sekarang, yang dikatakannya itu ada benarnya juga. Selama ini peristiwa aku terbangun dini hari dan menemukan punggungnya yang telanjang hanya terjadi ketika aku mengunjungi kota tempat ia tinggal, menginap dua atau tiga malam di kamar kostnya. Dan kalau kupikir-pikir lagi, rupanya, lelaki ini cukup pintar mengatur waktu. Sejauh ini aku sudah beberapa kali mengunjunginya di kota tempat ia tinggal, menginap dua-tiga malam di kamar kostnya, dan selalu sepanjang waktu itu ia habiskan berdua saja denganku. Kadang itu membuatku bertanya-tanya, apakah ia dan seseorang itu masih bersama-sama.

Suatu malam akhirnya kuutarakan keherananku itu padanya dan ia menjawab cepat, “Masih kok.” Sambil sesekali menatap mataku ia menjelaskan bahwa apapun yang telah terjadi di antara kami, ia tak akan mengubah keputusannya untuk mempersunting seseorang itu kelak. “Apakah kau mencintainya?” tanyaku. “Tentu saja,” jawabnya, dengan raut muka seperti awan gelap yang memadat. Ketika kuungkapkan keherananku dengan sikapnya itu, betapa ia bersikeras memilih seseorang itu sebagai istri namun tak juga berhenti tidur denganku yang berarti ia terus saja mengkhianatinya, ia mengatakan sesuatu yang membuatku terdiam, “Ia tahu kok apa yang kita lakukan ini.” Lima detik, dua belas detik, kuhabiskan dengan ternganga. “Benarkah itu?” tanyaku. “Ya,” jawabnya. Di sisa malam itu aku terus memikirkannya dan akhirnya aku jadi tak bisa menikmati persetubuhan kami, membuatnya memberengut. Dua minggu setelah saat itu, aku memberanikan diri untuk menemui seseorang itu dan mengajaknya bercakap-cakap.

Sebenarnya, lelaki itu sudah sejak lama mewanti-wanti agar aku tak mencoba-coba menemui seseorang itu. Jika ia tahu pertemuan dan percakapan kami itu, ia tentu akan benar-benar memarahiku. Tapi aku sudah memikirkannya masak-masak selama dua minggu dan kusimpulkan bahwa hari-hariku tak akan tenang jika aku dan seseorang itu tak bertemu. Maka, ketika pertemuan riskan itu terjadi, besar harapanku seseorang itu memberikan pernyataan yang entah bagaimana bisa menghapuskan kegelisahanku.

Namun ternyata, yang terjadi adalah sebaliknya. Usai kuutarakan kepadanya apa yang dikatakan lelaki itu malam itu, respon seseorang itu bukannya tersenyum atau mengangguk atau menyentuh tanganku dan berkata, “Ya. Aku tahu.” Yang kulihat saat itu, sorot matanya memudar, dan tak lama setelahnya setetes air mata meluncur di pipinya yang kiri. Seseorang itu, rupanya tak pernah tahu apa-apa soal kedekatan lelaki itu denganku, soal malam-malam yang kami lalui bersama, soal keputusan lelaki itu untuk melamarnya kelak. Dengan kikuk, aku meminta maaf dan berjanji akan mengakhiri hubunganku dengan lelaki itu, bahkan sekalian saja menghilang dari kehidupan mereka jika memang seseorang itu menginginkannya. Aku sedih, melihat ia seperti itu. Aku membayangkan aku lah yang berada di posisinya. Pastinya hatiku hancur. Namun apa yang dikatakannya kemudian benar-benar tak bisa kupercaya. Ia memintaku untuk meneruskan hubungan rahasiaku dengan lelaki itu. Dan katanya tegas, “Jangan khawatir. Itu tak akan mengganggu hubungan kami. Kami akan baik-baik saja. Dan suatu saat nanti, kami akan menikah.”

Sejak saat itu, aku sebisa mungkin menghindari pertemuan dengan lelaki itu. Alasan demi alasan kuberikan. Rindu demi rindu aku simpan. Hingga akhirnya, pertemuan itu tak terhindarkan lagi. Ia menciumiku di bibir, di pipi, di leher, di bahu..

“Menurutmu, apakah aku ini orang yang setia?” tanyanya.

Aku terpaku, lantas menggeleng.

“Entahlah,” kataku. “Kau bilang apapun yang terjadi di antara kita, istrimu nanti adalah dia. Kurasa, itu suatu wujud kesetiaanmu padanya. Tapi kita—”

“Tak berhenti melakukan hal ini?” potongnya.

“Ya,” jawabku.

Ia diam, beberapa detik.

“Bukankah itu suatu wujud kesetiaanku padamu, bahwa meskipun kelak aku akan menikahi perempuan lain, aku tetap memberikan diriku padamu?”

Giliranku yang terdiam. Benarkah itu? pikirku. Dan senyum di wajah lelaki itu seperti berkata, “Ya.”

Maka aku pun tak lagi ambil pusing dengan semua itu. Biarlah ia kelak menikah dengan seseorang itu dan kami masih terus bertemu seperti ini. Biarlah ia terus mengatakan padaku bahwa seseorang itu baik-baik saja dan apa yang kami lakukan ini tak akan mengganggu hubungan mereka. Satu hal kutanyakan, “Dulu di malam penganugerahan itu, kau sendirian. Mengapa dia tak mendampingimu?” Sambil menyentuh-nyentuh bibirku, ia menjawab, “Malam itu, kami sedang bertengkar.” Oh.. Aku pun sepertinya mengerti mengapa malam itu ia begitu hangat merespon ajakan pertemananku, mengapa malam itu ia mengirimiku SMS dan beberapa hari setelahnya dengan menggebu-gebu ia meneleponku. “Aku mencintaimu,” bisiknya, sebelum akhirnya ia menciumiku lagi di bibir, di pipi, di leher, di bahu..

Dan saat ini adalah dua puluh tujuh malam setelah saat itu. Baru saja, ia memintaku kembali ke tempat tidur. Baru saja, ia mematikan laptop dan menoleh menatapku penuh arti. Baru saja, ia menanyakan sesuatu yang membuat pipiku rasanya memerah, “Setelah aku dan ia menikah nanti, maukah kau terus menemaniku seperti ini? Maukah kau, setia kepadaku?” Sambil menunggu ia merangkak menghampiriku, aku memikirkan pertanyaannya itu. Barangkali bagi lelaki ini, aku, juga seseorang itu, adalah orang-orang yang akan selalu setia—kepadanya.(*)

 
Cianjur-Bogor, Maret 2013

 

*Dimuat di Koran Tempo, 30 Juni 2013.

5 pemikiran pada “Orang-orang yang Setia*

Tinggalkan Balasan ke crenata011 Batalkan balasan